Kamis, 10 Maret 2011

Pendidikan di Era Keemasan Islam

Pendidikan di Era Keemasan Islam
By Blogger Indonesia

Pendidikan di Era Keemasan IslamPendidikan di Era Kejayaan Islam (Islamic golden age). Seri tulisan pendidikan Islam untuk anak muslim.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Ponpes Alkhoirot Karangsuko, Malang

Masa keemasan atau kejayaan pendidikan Islam terjadi pada paruh akhir abad ke-8 sampai paruh abad ke-13 masehi (kecuali era Hulagu, cucu Jengis Khan). Selama periode ini, seniman, insinyur, sarjana, penyair, filsuf, ahli geografi dan pebisnis di dunia Islam sama-sama berkontribusi pada perkembangan agrikultura, seni, perekonomian, industri, hukum, sastra, navigasi, filosofi, sains, sosiologi dan teknologi dengan cara memelihara tradisi sebelumnya dan dengan menambah invensi dan inovasi mereka sendiri.

Apa saja kontribusi keilmuan umat Islam di era ini tidak akan dielaborasi di sini. Saya hanya akan sedikit menggarisbawahi bagaimana situasi sosial, politik dan kejiwaan umat Islam saat itu sehingga timbul ghirah (spirit) yang tinggi dari mayoritas umat terhadap ilmu pengetahuan sehingga mereka menjadi inspirasi bagi umat lain pada zamannya.

Peran Agama

Islam menempatkan Ilmu dan ahli ilmu dalam posisi yang sangat tinggi. Nabi menyerukan agar setiap individu muslim mencari ilmu “sampai ke negeri China.” Dan bahwa “tinta seorang intelektual itu lebih berharga daripada darah seorang yang mati syahid.” Al Quran menegaskan bahwa ahli ilmu jauh lebih tinggi derajatnya daripada orang biasa (QS Al Mujadalah 58:11).

Motivasi dan dorongan dari internal ajaran Islam itu sendiri sebenarnya sudah cukup kuat untuk membuat umat Islam pada era ini menjadi begitu bersemangat untuk menimba dan mengeksploarsi ilmu seoptimal mungkin.

Peran Negara

Selama peirode emas ini, dunia Islam berada di bawah kepemimpinan khilafah Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang sangat berperan pada saat itu adalah Khalifah Makmun Al Rasyid, putra Khalifah Harun Al Rasyid, yang mendirikan Baitul Hikmah (Rumah Kearifan).

Di Baitul Hikmah inlah berbagai ilmuwan, muslim dan non-muslim, berkumpul dan menterjemahkan seluruh keilmuan dunia ke bahasa Arab.

Banyak karya-karya klasik yang sudah terlupakan diterjemah ke dalam bahasa Arab. Terjemahan versi bahasa Arab ini di kemudian hari diterjemah ke dalam berbagai bahasa seperti Turki, Persia, Ibrani dan Latin. Banyak karya klasik yang dikumpulkan dan dijadikan satu dari berbagai karya-karya yang berasal dari Mesopotamia kuno, Romawi kuno, China, India, Persia, Mesir kuno, Afrika Utara, Yunani Kuno, dan peradaban Bizantium.

Khilafah Islam lain yang merupakan rival dari dinasti Abbasiyah seperti Fatimiyah di Mesir dan Umayyah di Al Andalusia Spanyol bersaing untuk juga menjadi pusat keilmuan. Dengan demikian, Kairo, Kordoba dan Baghdad sama-sama menjadi pusat keilmuan dunia pada zamannya.

Toleransi dan Kebebasan Beragama

Telah disinggung di muka, bahwa kalangan ilmuwan yang dikumpulkan di Baghdad terdiri dari muslim dan non-muslim. Ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama dijamin walaupun berada di bawah pemerintah Islam. Kebijakan terbuka dan toleran ini menarik kalangan intelektual terbaik dari berbagai latar belakang agama dan budaya baik Islam, Kristen dan Yahudi untuk ikut berpartisipasi. Inilah yang membuat era ini menjadi periode paling kreatif dan produktif di Abad Pertengahan.

Kebebasan Berpendapat

Kebebasan berpendapat tidak hanya diijinkan tapi juga dihargai. Hal ini memungkinkan setiap ilmuwan dan sarjana dapat mengekspresikan segala macam opini, bereksperimen dan berinvensi tanpa merasa takut karyanya akan dilarang.

Penekanan pada kebebasan berpendapat ini penting karena seorang ilmuwan atau sarjana tidak akan dapat berkarya secara optimal apabila berada dalam bayang-bayang rasa takut karyanya akan dilarang atau akan dipenjara.

Perpustakaan Umum

Perpustakaan menjadi tulang punggung dari kemajuan keilmuan. Peran negara pada saat itu sangat signifikan dalam mendirikan perpustakaan yang lengkap dan komplit sebagai salah satu pendukung utama proses pembelajaran, analisa dan kreatifitas.

Baitul Ilm atau Rumah Ilmu adalah nama perpustakaan umum yang berada di banyak kota di Afrika Utara dan Timur Tengah pada abah ke-9 yang terbuka untuk umum. Para staf perpustakaannya digaji oleh negara sebagai PNS (pegawai negeri sipil).

Perguruan Tinggi

Harus ada level pendidikan tinggi untuk menuju keahlian tertentu. Sebagaimana saat ini di mana spesifikasi keilmuan dimulai diperguruan tinggi dalam program sarjana dan pascasarjana, pada saat itu pun institusi selevel perguruan tinggi sudah didirikan dengan berbagai jurusan sains, ilmu sosial dan ilmu agama.

Bahkan universitas pertama yang mengeluarkan ijazah adalah sekolah tinggi kedokteran Bimaristan yang memberikan ijazah untuk kedokteran Islam dan berhak untuk melakukan praktik pengobatan pada abad ke-9.

The Guinness Book of World Records mengakui bahwa Universitas Al Karowiyin di Fez, Maroko sebagai universitas tertua yang memberikan ijazah yang didirikan pada 859 M, disusul oleh Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir pada 975 M yang mengeluarkan ijazah akademis sampai tingkat pascasarjana. Asal mula dari program S3 atau doktoral juga bermula dari madrasah abad pertengahan yang saat itu disebut ijazatut tadris wal ifta’ (ijazah untuk mengajar dan berfatwa).

Darul Hikmah atau Rumah Kearifan sendiri di samping sebagai lembaga penterjemahan juga merupakan institusi setingkat perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga penelitian dan menjadi pusat pelatihan dan pengajaran berbagai macam cabang keilmuan.

Universitas Nizamiyah di Neshapur, Baghdad, Khorasan, Iraq and Syria yang didirikan oleh Nizamul Muluk pada 1066 M dan dipimpin oleh Imam Al Haramain, guru dari Imam Al Ghazali, termasuk di antara jajaran universitas pertama dalam sejarah Islam dan bahkan dunia.

Semua Ilmu diajarkan dan dipelajari

Universitas Islam pada era pertengahan membuka berbagai fakultas dan jurusan. Termasuk jurusan sains, ilmu sosial dan ilmu agama. Dan dari sana, lahirlah kalangan ilmuwan yang karya dan penemuannya terus diingat dan dibaca hingga saat ini.

Kenyatan ini menjadi pelajaran bagi para santri yang lebih suka belajar ilmu agama saja dan meninggalkan sains. Juga pelajaran bagi pesantren yang lebih cenderung membuka perguruan tinggi jurusan agama.

Penulis berpendapat bahwa Indonesia sudah terlalu banyak memiliki IAIN atau UIN, sehingga banyak mahasiswa yang sebenarnya potensial di bidang sains jadi “terpaksa” studi jurusan agama.

Dedikasi Guru dan Hartawan

Guru dan profesor pada saat itu dikenal sebagai kelompok yang penuh dedikasi, berwawasan luar dan keilmuan yang tinggi dan pada saat yang sama hidup sederhana. Hidup keseharian mereka adalah contoh perilaku muslim yang salih: pekerja keras, sederhana, berdedikasi, dan toleran. Para murid dan mahasiswanya pun meniru pola hidup gurunya.

Dalam segi pendanaan ada tiga macam institusi pada periode ini yaiu (1) Insitutusi yang didirikan dan didanai oleh pejabat negara; (2) Institusi yang didirikan oleh kalangan hartawan dan didukung oleh donasi dari berbagai sumber dan (3) institusi yang didirikan oleh kalangan guru.

Tiga macam institusi tadi secara umum juga mendapat bantuan dana dari pemerintah terutama untuk yang setingkat perguruan tinggi. Pencarian dan dedikasi intelektual para guru membuat mereka tidak ikut-ikutan terlibat dalam kegiatan bisnis.

Pendidikan Gratis

Hartawan yang memberi donasi secara teratur, para guru yang hidup sederhana dan rela dibayar murah membuat sebuah institusi pendidikan memiliki cukup dana untuk tidak hanya memberikan pendidikan gratis, tapi juga asrama dan makan gratis bagi seluruh pelajar dan mahasiswa.

Pendidikan gratis secara total ini sampai saat ini masih berjalan di sejumlah pesantren di India, Pakistan dan Bangladesh. Sementara hanya ada satu pesantren di Indonesia yang memberi fasilitas gratis kepada para santri termasuk biaya sekolah sampai S1, makan dan asrama yakni di pondok pesantren Al Ashriyah Parung, Bogor pimpinan Habib Assegaf.

Kesimpulan

Peran pemerintah yang sangat besar terhadap dunia pendidikan pada era keemasan Islam tampaknya menjadi faktor terpenting yang menjadikan negara-negara Islam pada saat itu –seperti Baghdad, Mesir dan Andalus (Spanyol)–menjadi pusat keilmuan dan peradaban dunia. Keterlibatan negara ini terkait dengan dana pendidikan yang besar, kebijakan yang toleran, kebebasan berpendapat, infrastruktur pendidikan yang lengkap. Dedikasi para guru, ilmuwan, peneliti dan peran para hartawan juga penting untuk menciptakan suasana kondusif.

Saat ini, peran media seperti media cetak, radio dan terutama televisi juga tak kalah pentingnya dalam mempromosikan pentingnya pendidikan dengan cara membuat acara-acara yang mendidik dan visi media yang pro-pendidikan dan mencerdaskan.[]

Bibliografi:

Amira K. Bennison, The Great Caliphs: The Golden Age of the ‘Abbasid Empire, Yale University Press (USA), 2010.

John M. Hobson, The Eastern Origins of Western Civilisation, Cambridge University Press, 2004

Maurice Lombard, The Golden Age of Islam, Markus Wiener Publishers (USA), 2003.

Saeed Akbarabadi, The Rise and Fall of Muslims, Adam Publisher, New Delhi (India), 2005.

Veronique Ageorges, The Arabs In The Golden Age (Peoples of the Past), (diterjemah dari bahasa Prancis oleh Mokhtar Moktefi), Millbrook Press (USA), 1992.

Ulama Ahli Hadits Perempuan

Ulama Ahli Hadits Perempuan
By Blogger Indonesia

Ulama Ahli Hadits Perempuan (artikel serial pendidikan Islam untuk anak muslim)
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al Khoirot
Pondok Pesantren Al Khoirot Karangsuko, Malang

Sejak masa hidup Nabi Muhammad, perempuan telah memainkan peran penting sebagai periwayat hadits. Banyak perilaku dan sabda Nabi diriwayatkan oleh mereka. Nama-nama seperti Hafsah, Ummu Habibah, Maimunah, Ummu Salamah, dan A’isyah, sudah tidak asing bagi kalangan santri yang belajar hadits. Begitu juga setelah Rasulullah wafat, para Sahabat perempuan, khususnya istri-istri Nabi, banyak yang menjadi rujukan atau tumpuan tempat bertanya tentang berbagai hal terkait dengan perilaku dan sabda Nabi.

Para era Tabi’in (generasi setelah Sahabat), perempuan memegang posisi penting sebagai ahli perawi hadits. Hafsah, putri Ibnu Sirin, Ummu ad-Darda’ dan Amrah binti Abdurrahman, adalah sebagian kecil dari ahli periwayat hadith pada periode ini. Ummu ad-Darda’ oleh Iyas bin Muawiyyah dianggap lebih unggul (rajih) dibanding muhaddits terkenal Al Hasan Al Basri dan Ibnu Sirin. Amrah dianggap memiliki otoritas tinggi dalam meriwayatkan hadits yang berasal dari Aisyah. Di antara muridnya adalah Abu Bakar bin Hazm, hakim terkemuka di Madinah yang mendapat perintah untuk menulis seluruh hadits yang berasal dari riwayat Amrah binti Abdurrahman.

Selain itu, ada nama-nama muhaddits (ahli hadits) perempuan seperti ‘Abidah al-Madaniyyah, ‘Abdah binti Bishr, Ummu Umar al-Thaqafiyyah, Zainab cucu dari Ali bin Abdullah bin Abbas, Nafisa binti al-Hasan bin Ziyad, Khadijah Ummu Muhammad, ‘Abdah binti Abdurrahman, dan lain-lain. Para ulama perempuan ini berasal dari latar belakang yang sangat beragam, yang menunjukkan bahwa status sosial dan gender bukanlah penghalang untuk menjadi ulama Islam mumpuni..

Sebagai contoh, Abidah Al Madaniyyah adalah seorang hamba sahaya (budak) dari Muhammad bin Yazid. Ia belajar hadits dari sejumlah ulama Madinah. Konon, Abidah meriwayatkan puluhan ribu hadith dari otoritas guru-guru haditsnya di Madinah tersebut.

Zainab binti Sulaiman (wafat. 142H/759M), kebalikan dari Abidah. Dia lahir sebagai seorang putri bangsawan. Ayahnya adalah sepupu As-Saffah, pendiri dinasti Abbasiyah dan gubernur Basrah (Irak), Oman, dan Bahrain selama masa khalifah Al Mansur. Zainab yang mendapat pendidikan yang baik dapat menguasai hadits dan terkenal sebagai salah satu muhaddits paling terkemuka pada masanya, dan banyak ulama laki-laki yang pernah menjadi muridnya.

Pada abad keempat hijrah atau kesepuluh masehi, terdapat nama Fatimah binti Abdurrahman As-Sufiyyah (wafat 312H/924H), Fatimah cucu dari Abu Daud (penyusun kitab Sunan Abu Daud), Amat Al Wahid (wafat 377H/ 987M), putri dari mufti terkemuka Al Muhamili; Ummu Al Fath Amat As-Salam (wafat, 390H/999M), putri dari hakim Abu Bakar Ahmad Ahmad (w. 350H/961M). Jumuah binti Ahmad, dan lain-lain yang pengajian haditsnya banyak dikunjungi orang.

Banyaknya muhaddits perempuan berlanjut hingga abad kelima dan keenam hijrah atau ke-11 dan ke-12 masehi. Fatimah binti Al Hasan bin Ali bin Ad-Daqqaq Al Qusyairi dipuji tidak hanya karena ketakwaan dan keindahan kaligrafinya, tetapi juga karena penguasaan hadits dan kualitas sanad yang dia ketahui. Muhaddits perempuan lain adalah Karimah Al Marwaziyyah (w. 464H/1070M) yang dianggap memiliki otoritas terbaik atas kitab hadits Sahih Al Bukhari. Al Khatib Al Baghdadi dan Al Humaidi adalah sebagian dari murid-muridnya.

Ulama ahli hadits terkemuka lain pada abad ke-11 dan 12 Masehi adalah Fatimah binti Muhammad (w.539/1144; Syuhdah Al Katib (w.574/1178), and Sitt al-Wuzara binti Umar (w.716/1316) yang semuanya merupakan spesialis hadits Sahih Al Bukhari.

Ulama muhaddits yang lain adalah Ummu al-Khayr Fatima binti Ali (w.532/1137), dan Fatima al-Shahrazuriyya (w.524/1129) keduanya adalah ahli hadits Sahih Muslim. Sedangkan Fatima al-Shahrazuriyya juga ahli hadits Mu’jam At Thabrani. Ada juga Zainab Al Harran (w. 68/1289) yang mengajarkan kitab Musnad Ahmad ibnu Hanbal yang merupakan salah satu dari kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Pada periode ini dikenal juga ulama perempuan ahli hadits bernama Juwayriyah binti Umar (w.783/1381), dan Zainab binti Ahmad bin Umar (w.722/1322), yang sudah melakukan perjalanan sangat jauh untuk mencari hadits dan menyampaikan kuliah hadits di Mesir dan Madinah. Ia meriwayatkan pada murid-muridnya kumpulan hadits al-Darimi dan Abd bin Humaid. Selain itu ada juga Zainab binti Ahmad (w.740/1339) yang lebih dikenal dengan panggilan Bintul Kamal. Dia menyampaikan pengajian kitab Musnad Abu Hanifa, Syama’il Tirmidzi dan Syarh Ma’ani Al Athar dari At Tahawi. Kitab terakhir ini dia baca bersama ahli hadits perempuan lain yaitu Ajibah binti Abu Bakar (w. 740/1339).

Ibnu Asakir, seorang ahli sejarah terkemuka asal Damaskus mengatakan bahwa dia telah belajar pada 1.200 guru laki-laki dan 80 guru perempuan dan mendapat ijazah sanad hadits dari Zainab binti Abd al-Rahman untuk kitab Muwatta’ Imam Malik. Jalaluddin As Suyuti belajar kitab Ar Risalah-nya Imam Syafi’i pada Hajar binti Muhammad. Sedangkan Afifuddin Junaid, seorang ahli hadits abad ke-9 Hijrah/15 Masehi, belajar kitab hadits Sunan Ad Darimi pada Fatimah binti Ahmad bin Qasim.

Dalam kitab Ad Durar Al Karimah fi A`yaan al-Mi’at al-Tsaminah, Ibnu Hajar Al Asqalani menulis biografi singkat tentang 170 ulama perempuan abad kedelapan hijrah atau ke-14 masehi. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan termasuk di antaranya adalah guru Ibnu Hajar sendiri.

Ahli hadits perempuan terkemuka paling mutakhir adalah Fatima al-Fudayliyah (w. 1247/1831.52) yang dikenal sebagai al-Shaykha al-Fudayliya. Ia lahir sebelum akhir abad ke-12 hijrah / 18 masehi. Disamping ahli hadits, ia juga ahli di bidang seni kaligrafi dan sejumlah ilmu-ilmu Islam lain. Menjelang akhir hidupnya, ia tinggal di Makkah di mana ia mendirikan perpustakaan umum yang besar. Pengajiannya di Makkah dihadiri oleh banyak ahli hadits ternama seperti Syaikh Umar Al Hanafi dan Syaikh Muhammad Sali.

Dari uraian singkat di atas, terbuka satu horizon baru bahwa dalam konteks khazanah keilmuan Islam, perempuan juga memainkan peran penting sebagai pembawa tongkat estafet transmisi informasi ilmu pengetahuan agama, khususnya hadits, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perempuan juga tidak hanya menjadi murid. Mereka juga menjadi guru dari para ulama laki-laki terkemuka. Sebagai ulama, para wanita ini juga dikenal sangat menjaga akhlak, syariah dan perilaku Islami ideal.[]

Referensi

1. Al-Khatib al-Baghdadi, Sharaf Ashab al-Hadith
2. Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad
3. Ibnu Hajar Al Atsqalani, Ad-Durar Al-Karimah fi A`yan al-Mi’at al-Tsaminah
4. Ignaz Goldziher, Muslim Studies, (terjemah bahasa Inggris oleh S. M. Stern, (Aldine Transaction, 2006).
5. Jalaluddin Al-Suyuti, Tadrib Ar Rawi
6. Yaqut al-Hamawi, Mu’jam Al Udaba

Sejarah Sistem Pendidikan Islam

Sejarah Sistem Pendidikan Islam
By Blogger Indonesia

sistem pendidikan islam
Kronika Sejarah Sistem Institusi Pendidikan Islam

Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin ALKHOIROT
Pondok Pesantren Al Khoirot Karangsuko, Malang

Pendidikan memainkan peran sentral dalam Islam. Ilmu menjadi tulang punggung (backbone) ajaran Islam. Lebih dari 800 ayat Al Quran menyebut, menyinggung atau membahas tentang pentingnya keilmuan. Sekedar perbandingan, hanya 90 ayat Al Quran yang membahas tentang fiqh atau ilmu hukum Islam. Ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu dan pendidikan dalam Islam (QS Al Mujadalah 58:11).

Karena hanya dengan ilmu, dua tujuan pokok agama dapat tercapai. Dua tujuan utama itu adalah pertama, tauhid. Yakni, mengesakan atau men-satu-kan Allah. Yang konsekuensinya adalah keinginan inheren untuk menyembahNya (QS Al A’raf 7:172)dan kepatuhan mutlak pada syariah-Nya (QS An Nisa’ 4:59).

Kedua, akhlakul karimah. Ilmu apapun yang dipelajari—ilmu agama atau umum, bertujuan untuk meningkatkan akhlak seorang muslim pada level akhlak Rasulullah (QS Al Qalam 68:4).

***

Selaras dengan karakter manusia yang dinamis and inovatif, proses transmisi keilmuan mengalami dinamikanya sendiri dari zaman ke zaman. Begitu juga sistem pendidikan Islam mengalami perubahan dan pembaruan dari masa ke masa. Berikut tulisan singkat tentang sistem dan institusi pendidikan Islam sejak masa Rasulullah sampai saat ini.

Pertama, masjid. Di samping untuk beribadah, masjid juga menjadi salah satu tempat untuk transmisi keilmuan. Masjid menjadi institusi pendidikan pertama dan tertua dalam Islam. Rasulullah menggunakan masjid Nabawi di Madinah sebagai tempat untuk kegiatan pendidikan dan pengajaran kepada para Sahabat Nabi.

Pasca Nabi, para ulama dan ahli Hadits dulunya biasa mengadakan pengajian di masjid jami’, di mana mereka duduk melingkar, mengaji, mengajar dan mendiskusikan berbagai disiplin ilmu seperti fiqh, tafsir, hadits, grammatika bahasa Arab (nahwu shorof), dll.

Kedua, Al Katatib (bentuk jamak dari al kuttab) adalah sekolah Al Qur’an . Di sini dipelajari cara membaca, menulis dan menghafal Al Qur’an. Al Katatib terdapat di sejumlah negara Islam di Timur Tengah. Sampai saat ini, Al Katatib masih eksis di sejumlah negara Arab seperti Kuwait.

Ketiga, Darul Quran atau Pusat Kajian Al Qur’an. Insitutsi ini adalah institusi pendidikan Islam pertama yang didirikan khusus untuk mempelajari Al Quran. Pelopor utamanya adalah Rasha ibnu Nathif al Dimashqi. Didirikan di Damaskusi, Suriah pada tahun 400 hijriah / 1009 masehi.

Keempat, Darul Hadith atau Pusat Kajian Hadits adalah institusi pendidikan Islam pertama yang mengambil spesialisasi Hadits dan ilmu-ilmu yang terkait. Didirikan oleh Al Malik al Adil Nuruddin Mahmud al Zanki, di Damaskus, Suriah.

Kelima, Al Madaris (jamak dari madrasah) secara literal bermakna sekolah. Yang dimaksud adalah sekolah tinggi atau kolese (college). Didirikan pertama kali pada abad kelima Hijriah atau abad ke-12 masehi. di Damaskus, Suriah. Dalam Al Madaris terdapat satu madrasah untuk setiap jurusan. Seperti madrasah teknik, madrasah kedokteran, dll.

Keenam, Al Jami’at atau universitas. Pada tahun 859 masehi Fatimah al Fihri mendirikan Jami’ah al-Qarawiyyin atau Universitas Qarawiyyin di kota Fas, Maroko. Universitas ini merupakan universitas pertama dan tertua di dunia.[1] Di susul kemudian oleh Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir yang didirikan pada tahun 959 masehi.

Jamiah Al-Nizamiyya atau Universitas Nizamiyyah Baghdad, Irak didirikan pada 1091 M, yang merupakan universitas terbesar dunia pada abad pertengahan. Disusul kemudian oleh Universitas Mustansiriya yang didirikan oleh khalifah Abbasiyah Al Mustansir pada 1233 M. Universitas-universitas ini selain mengajarkan bidang-bidang agama, juga menyediakan bidang studi filsafat, matematika dan ilmu sains. Al Hakam ibnu Abdul Rahman mendirikan universitas Kordoba di Spanyol yang kemudian menjadi salah satu universitas internasional terkemuka pada zamannya.

Banyak intelektual muslim berpengaruh adalah hasil didikan dari universitas-universitas ini. Seperti Al Khawarizmi (780-846 M) pakar matematika, Ibnu al Haytham (965-1040 M ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina (980-1037) filsuf, Jabir ibnu Hayyan (721M – 815 M) peletak dasar ilmu kimia modern, Al Razi (865-925 M) ahli pengobatan dan lainnya..

Keenam, Pondok Pesantren, madrasah . Sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang khas Indonesia,[2] walaupun banyak juga dijumpai di negeri lain. Di Malaysia dan Thailand selatan disebut dengan pondok sementara di India, Pakistan, Bangladesh dan negara-negara Arab disebut dengan madrasah. [3] Awalnya, pesantren bertujuan utama untuk memperdalam ilmu agama seperti Al Quran, Tafsir, Hadits, Fiqh dan tata bahasa Arab (Nahwu Sharaf). Pada perkembangannya saat ini, pesantren tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu umum dan sains.[4][]

1.The Guinness Book of Records, 1998, p. 242.

2. Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press, 2005. hlm. 55

3. Istilah madrasah di India, Pakistan, Bangladesh merujuk pada pondok pesantren. Sementara di Indonesia, pondok pesantren dan madrasah adalah dua hal yang berbeda.

4. Florian Pohl, Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia, 2009, Waxmann Verlag GmbH, Germany.

======

Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat Pendidikan Islam
By Blogger Indonesia

filsafat pendidikan islamKonsep dan tujuan utama dari pendidikan Islam menurut pandangan para edukator muslim klasik dan kontemporer seperti Al Jahiz, Seyyed Hossein Nasr, Syed Naquib Al Attas, Fethullah Gulen
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Alkhoirot
Pondok Pesantren Alkhoirot, Malang

Sebagian orang cenderung ‘alergi’ dengan istilah filsafat. Hal ini langsung atau tidak tentu ada kaitannya dengan kritikan pedas Imam Ghazali dalam kitab Tahafut al Falasifah (Kerancuan Filsafat) kepada para filsuf. Namun kalau diteliti secara seksama isi kitab tersebut, kritik Al Ghazali itu sebenarnya tertuju pada filsafat teologi (ilmu kalam) yang merupakan cabang dari filsafat agama (philosophy of religion)

Bukan filsafat yang lain.[1] Dan bukan pada filsafat itu sendiri. Karena filsafat itu pada dasarnya hanyalah alat. Dan setiap alat bersifat netral. Ini perlu ditekankan di sini supaya kita tidak salah kaprah dan apriori pada semua yang namanya filsafat.

Secara kronologi historik asal mula kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophos, philosophi. Kata ini kemudian dipakai dalam bahasa Latin philosophia dan Prancis klasik filosofie. Lalu diadopsi dalam bahasa Inggris abad pertengahan menjadi philosophie dan kemudian philosophy. Dalam bahasa Arab diadaptasi menjadi falsafah (jamak, falasifah) dan dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai filsafat atau filosofi. Yang artinya cinta kebijakan (love of wisdom).[2]

Setidaknya ada 8 makna filsafat secara terminologis (istilah). Namun yang paling relevan dengan tulisan ini adalah “a set of ideas or beliefs relating to a particular field or activity; an underlying theory” (ide pokok yang menjadi landasan suatu aktifitas atau keilmuan tertentu). [3] Dengan definisi ini, ketika dikatakan “filsafat pendidikan Islam”, maka maksudnya adalah apa saja kerangka ide utama suatu sistem pendidikan itu disebut Islami atau berada dalam koridor keislaman. Dan apa tujuan utama dari suatu sistem pendidikan Islam. Tulisan singkat ini hanya akan menggarisbawahi sejumlah filosofi pendidikan Islam di mata kalangan edukator muslim berpengaruh, baik yang klasik maupun kontemporer.

***

Pendidikan Islam ideal, kata Wan M. Nor Wan Daud, harus meliputi dua kategori ilmu tradisional, dan hubungan hirarki keduanya.[4] Yakni ilmu wahyu yang dapat dicapai melalui ilmu-ilmu agama (QS At Taubah 9:122). Dan ilmu umum yang dapat digali melalui ilmu rasional, intelektual dan filosofis. (QS Ali Imron 3:190).

Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa dalam konsep tauhid, ilmu bersifat holistik (menyeluruh). Tidak ada pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Karena kedua tipe keilmuan itu sama-sama ikut berkontribusi dalam memperkuat iman. Ilmu agama memperkuat keimanan melalui wahyu sementara ilmu umum melalui kajian ilmu humanitas dan alam secara sistematik dan seksama.[5]

Syed Muhammad Naguib al-Attas menyebut pendidikan Islam sebagai ta’dib (dari kata, adab). Dia mendefinisikan istilah ini sebagai kedisiplinan fisik, pikiran dan jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengenal dan mengakui posisi yang pantas dalam hubungannya dengan dirinya, keluarganya dan komunitasnya. Kepantasan posisi atau derajat seseorang adalah berdasarkan pada kriteria intelektual, ilmu dan kesalihan (ihsan). Dengan pengertian ini, adab adalah refleksi kearifan (hikmah) dan kedilan (‘adl).[6]

Al Attas bukanlah “inventor” pertama yang memperkenalkan istilah adab dalam konsep pendidikan Islam. Adalah sastrawan Arab legendaris Amr bin Bahr al-Jahiz (wafat 869 M) yang mempopulerkan istilah ini pertama kali. Al Jahiz mengartikan adab sebagai sistem pendidikan menyeluruh dari seorang muslim yang berbudaya yang menjadikan seluruh isi dunia sebagai obyek ilmu dan rasa keingintahuan. Di mana pada gilirannya pendidikan yang holistik akan memengaruhi perkembangan moral seseorang ke arah yang lebih baik.[7]

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh seorang edukator muslim asal Turki Fethullah Gülen. Menurutnya filsafat pendidikan Islam adalah sistem pendidikan holistik, menyeluruh dan tidak terpisah—antara ilmu agama dan ilmu umum– yang bertujuan untuk memperkaya pemikiran spiritual dan kritis baik bagi laki-laki dan perempuan. Bagi Gulen, pendidikan adalah alat untuk melatih jiwa dan raga dalam rangka melaksanakan kehendak Allah di muka bumi. Menurutnya pelatihan yang tepat dari seluruh aspek kondisi manusia akan membuahkan hasil yang holistik bagi seseorang baik secara spiritual, moral, rasional dan psikologis.[8]

Gulen tidak sependapat adanya garis pemisah antara ilmu agama (religious sciences) dan ilmu umum (secular sciences). Pemisahan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum adalah pandangan tidak holistik atas ilmu Allah. Dia menyadari pentingnya menguasai ilmu-ilmu sains dan menekankan bahwa tak ada pemisahan kognitif antara kebenaran spiritual dan penelitian saintifik, dan oleh karena itu dia meyakini bahwa tidak ada ketidakcocokan (disharmoni) antara prinsip-prinsip Islam dan metodologi saintifik.[9]

***

Dari pandangan sejumlah edukator muslim di atas, dapat digarisbawahi bahwa filosofi atau kerangka besar (grand design) pendidikan Islam memiliki beberapa tujuan dasar penting sebagai berikut, pertama, bahwa pendidikan bertujuan untuk mendidik raga, pikiran dan jiwa untuk semakin bertakwa dan beriman kepada Allah yang pada gilirannya akan tergambar pada perilaku salih (ihsan) dan arif (hikmah) serta adil. Dengan demikian, seluruh proses belajar mengajar dan pelatihan harus mengarah ke tujuan peningkatan keimanan tersebut.

Kedua, dalam konsep tauhid ilmu agama dan ilmu umum bukanlah sesuatu yang berbeda karena keduanya sama-sama ilmu Allah dan dapat berpotensi sebagai alat untuk meningkatkan keimanan dan pengembangan kepribadian moral, spiritual dan psikologis.

Ketiga, bahwa kriteria yang pantas bagi seseorang untuk menempati suatu posisi hendaknya berdasarkan pada tiga elemen yaitu intelektual, ilmu dan kesalihan. Dan ini harus menjadi kesadaran inheren anak didik sejak dini.

Para pendidik hendaknya merevisi kembali sistem dan kurikulum pendidikannya, apabila ternyata hasil dari proses pendidikan tidak memenuhi tiga prinsip pendidikan Islam di atas. Terutama saat keilmuan yang diperoleh tidak membuat perbaikan dari segi moral dan spiritual anak didik. Wallahu A’lam[]

CATATAN AKHIR

[1]Setidaknya ada 9 cabang pokok dari ilmu filsafat yaitu filsafat metafisika, epistemologi, etika, politik, estetika, logika, filsafat berfikir, filsafat bahasa dan filsafat agama. Yang masing-masing memiliki cabang lagi. Lihat An Introduction to Philosophy, George Stuart Fullerton (Nabu Press, USA:2010). Filsafat agama adalah cabang filsafat yang menjadi sasaran serangan Al Ghazali dalam Tahaful al Falasifah.
[2] The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company.
[3] Collins English Dictionary – Complete and Unabridged © HarperCollins Publishers 2003
[4] Wan M. Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam (Mansell, 1991)
[5] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Kazi Publications, 2007)
[6] S. M. Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, (ISTAC, 1990).
[7]Tarif Khalidi, Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age, (Princeton, 1985), hal. 57.
[8] Lihat bahasan detail dalam B. Jill Carroll and Akbar S. Ahmed, A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and Humanistic Discourse (Tughra, 2007)
[9] Fethullah Gülen, Essays, Perspectives, Opinions (The Light, Inc., 2004)

=======

Keteladanan Orang Tua

Keteladanan Orang Tua
By Blogger Indonesia

Keteladanan Orang Tua bagian dari seri tulisan Pendidikan Islam untuk Anak Muslim
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah
Ponpes Al-Khoirot Putri Karangsuko Malang

Keteladanan berasal dari kata teladan yang menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bermakna “sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh.” Dengan demikian, keteladanan berarti hal yg dapat ditiru atau dicontoh.

Keteladanan adalah cara memimpin yang paling efektif. Metode membimbing yang paling tidak diragukan lagi kekuatannya. Allah meminta umat Islam agar meneladani perilaku Rasulullah (QS Al Ahzab 33:21). Perintah Al Quran ini secara tersirat dapat juga dimaknai bahwa cara memimpin yang baik dan efektif adalah dengan cara memberi keteladanan, bukan hanya perkataan. Di ayat lain Al Quran juga mengingatkan, bahwa pemimpin yang ideal dan sukses selalu berusaha menyelaraskan perkataan dengan perbuatannya (QS As Shaf 61:3).

Kalau keteladanan mutlak diperlukan dalam memimpin dan mendidik orang dewasa, maka ia semakin mutlak diperlukan sebagai metode dalam mendidik dan menuntun anak ke arah kebaikan yang kita inginkan. Karena, anak ibarat kertas putih bersih. Orang-orang dewasa di sekitarnyalah yang akan “melukis” aneka gambar di dalamnya. Terutama, dalam hal ini, adalah orang tua.

Oleh karena itu, saat orang tua melihat anaknya berperilaku dan bersikap tidak sesuai dengan yang diinginkan maka hal pertama yang perlu dipertanyakan adalah sudahkah orang tua memberi keteladanan yang benar pada anaknya? Apabila dirasa tidak ada yang salah dengan keteladanan orang tua maka yang perlu dilihat berikutnya adalah keteladanan lingkungan di sekitarnya. Seperti, keteladanan tetangga, teman-teman sekolah dan tontonan yang dilihat di TV.

Tentu setiap orang tua mengetahui apa saja perilaku baik yang patut diteladankan pada anak dan kebiasaan buruk yang harus dihindari. Namun, apabila masih bingung, berikut hal-hal pokok yang perlu diperhatikan.

Pertama, jujur. Kejujuran adalah fondasi utama agar manusia hidup bermartabat dan dihargai orang lain. Walaupun Anda mungkin bukan orang yang selalu jujur selama ini, tapi berusahalah menjadi jujur demi anak Anda. Kejujuran meliputi tidak suka berbohong, tidak suka korupsi dengan dalih apapun dan bangga pada harta yang didapat dengan cara halal walaupun sedikit.

Kedua, kerja keras. Kerja keras adalah kunci penting berikutnya dalam mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Kerja keras berarti tidak malas. Tidak malas untuk belajar, bekerja, dan beribadah.

Ketiga, taat perintah agama. Tunjukkan bahwa orang tua mentaati seluruh perintah agama. Setidaknya, perintah agama yang utama seperti rukun Islam yang lima (salat, puasa, zakat dan haji bila mampu).

Keempat, menjauhi larangan agama. Menjauhi larangan agama sama pentingnya dengan menaati perintahnya. Larangan agama yang utama adalah berzina, mencuri (termasuk korupsi), minum alkohol, membunuh dan pemakaian obat terlarang.

Kelima, jangan bertengkar di depan anak. Pertengkaran suami-istri sebisa mungkin dihindari. Dan kalau pertengkaran tak terhindarkan, jangan pernah melakukannya di depan anak.

Keenam, jangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga baik suami pada istri, atau ayah/ ibu pada anak. Penggunaan cara kekerasan hanya akan membuat anak berfikir bahwa memukul dan menyiksa orang lain itu bukanlah sesuatu yang buruk. Sebaliknya jadikan sikap tegas tapi penuh kasih sayang sebagai cara mendisiplinkan anak.

Apabila orang tua sanggup melakukan hal-hal tersebut, mereka akan betul-betul menjadi idola dan pahlawan keteladanan bagi buah hatinya.[]

Pesantren dan Pendidikan Anti Teror

Pesantren dan Pendidikan Anti Teror
By Blogger Indonesia

Pesantren dan Pendidikan Anti Teror tulisan ini bagian dari seri Pendidikan Islam untuk anak muslim
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Pesantren Al Khoirot
Ponpes Al-Khoirot Karangsuko, Malang

Abu Bakar Baasyir (ABB) ditangkap untuk kedua kalinya pada 9 Agustus 2010 dengan kapasitas sebagai ketua Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang anggotanya konon terlibat dengan aktifitas perampokan Bank CIMB Niaga Medan dan terorisme Aceh. Penangkapan itu sebenarnya biasa saja. Karena, memang pemerintah sedang giat-giatnya menumpas gerakan teror di Indonesia.

Namun, fakta bahwa ABB juga seorang pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Jawa Tengah patut menjadi kekuatiran kita bersama, para santri dan pengasuh pesantren. Apalagi, ada beberapa alumni ponpes Ngruki yang terbukti terlibat tindakan terorisme, seperti Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan alias Mubarok dan Joni Achmad Fauzan yang dijatuhi hukuman 6 tahun penjara pada April 2006.

Dengan fakta-fakta itu, kalangan luar pesantren mulai beranggapan bahwa pesantren itu identik dengan terorisme. Atau setidaknya simpati pada para teroris. Walaupun citra buruk ini belum begitu meluas, namun ini patut menjadi perhatian kita bersama dan mengambil langkah antisipatif yang diperlukan untuk membersihkan nama pesantren dari segala anggapan yang keliru. Kita tidak ingin

Diversifikasi Pesantren dan Ideologi

Jamhari dan Jajat Burhanudin membagi pesantren menjadi tiga kelompok. Yaitu, pesantren berbasis NU (Nahdlatul Ulama), pesantren modern dan pesantren independen. Dua pesantren jenis pertama adalah pesantren yang sudah umum diketahui. Pesantren berbasis NU adalah pesantren tradisional yang memiliki hubungan organisasional atau kultural dengan NU. Begitu juga dengan pesantren Muhammadiyah yaitu pesantren yang berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan ormas Muhammadiyah. Sedang pesantren independen adalah jenis pesantren model baru di Indonesia. Ia adalah pesantren yang didirikan oleh mereka yang langsung atau tidak langsung berafiliasi dengan ajaran Wahabi atau Salafi.

Pesantren berbasis NU adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang jauh dari hingar bingar aktifitas ideologi ekstrim. Secara empiris pesantren-pesantren tipe ini lebih memfokuskan diri pada program pendidikan. Baik program pengajian kitab kuning klasik, madrasah diniyah maupun pendidikan formal. Materi kurikulum keagamaannya pun tidak jauh dari fiqh, nahwu/sharaf, tauhid, tasawwuf dan Quran hadits.

Pesantren berbasis Muhammadiyah (MD) juga tidak jauh berbeda dengan pesantren NU. Walapun pendirian organisasi Muhammadiyah itu sendiri terinspirasi oleh ajaran pembaharuannya Ibnu Abdul Wahhab, namun Muhammadiyah boleh dikatakan sebagai “Wahabi versi lunak.” Yang tema utama dalam berkonfrontasi dengan orang NU hanya seputar tahlil, talqin, ziarah kubur dan jumlah rakaat tarawih.

Hal ini berbeda dengan pesantren tipe ketiga yang berada di bawah kendali kalangan Salafi. Salafi adalah gerakan paling ektrim di antara gerakan-gerakan Islam yang terinspirasi ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), yang dikenal juga dengan gerakan Wahabisme.

Ideologi Takfir Salafi

Salah satu doktrin yang menyesatkan dari Salafi atau Wahabisme adalah ideologi takfir.Yakni, keyakinan yang menganggap bahwa orang muslim yang tidak seide dengan dirinya dianggap kafir dan halal untuk dibunuh. Doktrin ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ibnu Saud, pendiri kerajaan Arab Saudi untuk menyerang dan membunuh suku-suku lain untuk tujuan mendirikan negara Arab Saudi. Ideologi takfir ini menjadi pemicu masih hidup dan bertahannya terorisme di Indonesia.

Ideologi takfir dari Muhammad Ibnu Abdul Wahhab tertuang jelas dalam salah satu karyanya Kasyfu asy-Sybubuha.t. Kitab ini sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum muslimin selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb). Ia telah mengkategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan. Dan atas dasar itu ia mengafirkann dan menvonis musyrik selain kelompoknya.

Dalam buku kecil itu, Ibnu Abdil Wahhâb telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari berbagai madzhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrikin, kafir, syaitan, penyembah berhala, munafikun, dan lain-lain. Konsekuensi dari doktrin ini dipakai oleh kalarangan teroris yang membunuh sesama muslim dengan tanpa merasa berdosa.

Ideologi intoleransi dan sangat mengancam kerukunan antar umat Islam ini semakin berbahaya karena ajaran Salafi ini ditunjang oleh dana besar dari pemerintah Arab Saudi untuk disebarkan ke berbagai negara Islam di seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Penyebaran ajaran Wahabi ini umumnya melalui lulusan universitas-universitas Arab Saudi seperti Jamiah Ummul Quro, Universitas Islam Madinah, Universitas King Saud, atau perguruan tinggi luar Arab Saudi yang mendapat subsidi dari pemerintah Arab Saudi seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Jakarta.

Penyebaran doktrin Wahabi selain melalui pesantren mereka, juga melalui khotbah Jum’at, dan ceramah di masjid dan musholla yang sudah mereka “kuasai.”

Respons Pesantren NU

Walaupun sudah jelas bahwa doktrin terorisme dan ajaran Islam garis keras bukan berasal dari pesantren NU dan bahwa pesantren NU selalu menganut ajaran Islam yang moderat (wasath), akan tetapi adalah kurang tepat apabila santri dan kyai pesantren NU tinggal diam terhadap fenomena radikalisasi ini. Pesantren harus memberi respons antisipatif guna mengkonter laju gerakan mereka, memelihara keharmonisan antar-golongan umat Islam dan menjaga nama baik pesantren.

Pertama, tidak membolehkan apalagi mengundang mubalig atau khatib Jum’at kalangan yang dicurigai terpengaruh doktrin Wahabi. Dan menolak tokoh atau organisasi yang menganjurkan kekerasan antar umat Islam.

Kedua, tidak membiarkan kalangan ini menguasai masjid dan mushola milik NU.

Ketiga, membuat pernyataan yang jelas dan tegas baik secara lisan maupun tulisan bahwa pesantren kita adalah penganut ahlussunnah wal jama’ah yang sangat menghormati perbedaan pendapat, mengakui adanya variasi golongan dalam internal umat; dan karena itu sangat tidak setuju pada kelompok gerakan Islam yang tidak toleran apalagi yang menyerukan kekerasan dan terorisme sebagai jihad.

Keempat, menjadikan sikap toleransli dan anti-teror sebagai kurikulum wajib di madrasah diniyah atau sekolah formal (apabila ada).

Kelima, tidak melindungi mereka yang diduga terlibat dalam gerakan terorisme. Bukan hanya itu, kalau perlu melaporkan mereka apabila diketahui bersembunyi dari pengejaran aparat atau diketahui melakukan perilaku yang mengarah ke tindakan terorisme.

Saya percaya bahwa ideologi kekerasan tidak memiliki banyak pengikut dan bertahan lama. Akan tetapi, dengan aliran dana yang besar membuat golongan yang kecil itu memiliki semangat besar untuk memperjuangkan ideologinya. Apalagi, satu tindakan terorisme sudah cukup untuk menghancurkan nama baik Islam secara keseluruhan.

Last but not least, kejahatan timbul bukan hanya karena adanya orang yang jahat. Akan tetapi, terkadang disebabkan oleh diamnya orang yang baik.[]

Further reading

Barakat Jassem, Global Jihad: A History of the Jihadi Salafi Movement, I.B.Tauris, London, 2011

Jamal Ma’mur Asmani, “Salafi Radikal, Pesantren, dan Terorisme”, JIL 2003

Jamhari and Jajat Burhanudin, “A Brief Mapping of Islamic Education in Indonesia”, PPIM UIN Jakarta.

Roel Meijer (Editor), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, Columbia University Press, 2009.

Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition: The Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, Arizona State University, 1999.

Jumat, 04 Maret 2011

Akhwat Gaul*, Antara Kebebasan dan Keterbukaan

Akhwat Gaul*, Antara Kebebasan dan Keterbukaan

6 Juli 2007 oleh Embun Tarbiyah

*) bukan idiom

Pengalaman seorang akhwat ketika masih SMA, waktu itu ada pertemuan antara pihak sekolah dengan pengurus musholla. Pihak sekolah ingin bertemu dengan semua pengurus, laki-laki maupun wanita. Maka itulah kali pertama para akhwat menyebrangi hijab di Musholla, yang membatasi ruang laki-laki dengan wanita. Berada dalam satu ruangan, dengan posisi berhadap-hadapan walau berjarak cukup jauh, itu situasi yang langka. Karuan saja rasa kikuk menyerbu saat itu. Para akhwt duduku kaku tertunduk, kalaupun bersuara hanya berbisik. Dan ketika pertemuan berakhir, rasanya baru bisa bernapas lega.
Pengalaman lain, ketika seorang akhwat sedang berjalan bersama akhwat yang lain, kebetulan berpapasan dengan dua orang ikhwan kakak kelas. Mungkin ada keperluan dengan memberi salam. Salam itu dijawab akhwatnya tapi sejurus kemudian yang terjadi adalah saling dorong, siapa yang mau bicara dengan ikhwan itu. Tak ada yang mengalah. Alhasil, akhwat berdua itu malah bergegas pergi sambil mencari-cari akhwat yang seangkatan dengan ikhwan tadi. Terlau…?!
Tapi zaman sudah berubah, jangankan berada dalam satu ruangan dengan posisi berhadap-hadapan, makan bersama di satu meja pun, OK-OK saja. atau berada dalam satu mobil dan bercanda ria sepanjang perjalanan, itu sudah biasa. Bahkan, dalam forum yang seharusnya formal seperti rapat sekalipun, atmosfir saling ‘mencela’ dan bergurau antara ikhwan dan akhwat tidak sulit ditemui.
Sempat terpikir, mungkin perubahan yang terjadi semata-mata bentuk penyesuaian dakwah yang semakin terbuka. Namun jika sekian fenomena menyuarak: ikhwan dan akhwat berlama-lama ngobrol di telepon (padahal yang membayar tagihan orang tua), ada yang memasang foto sesama aktifis kampus pujaannya di meja belajar, ikhwan dan akhwat sudah berani ‘jalan bareng’, padahal mereka tak tahu apa-apa tentang taqdirullah. Akhwat yang mengalami depresi berat karena ‘ditinggal’ menikah oleh seorang ikhwan, bahkan ikhwan dan akhwat berhubungan terlalu jauh sampai berzina… itu semua bukan kebetulan kan?!
Ilustrasi pertama dan kedua, sebetulnya sama-sama tak layak ditiru. Sikap yang terlalu kakum justru menghambat komunikasi. Namun gaya komunikasi yang terlalu cair tentu saja beresiko membuka celah kemaksiatan. Lalu tidakkah mungkin bahwa ternyata kedua ‘kekeliruan’ tdai seharusnya punya satu pokok masalah, yaitu pemahaman?
Terkadang kita terjebak dengan group value. Kita mengikuti suatu nilai, semata-mata karena nilai itulah yang dianggap berharga dalam kelompok. Boleh jadi karena menganut group value itulah, sehingga dulu ada budaya ikhwan-akhwat bicara dengan posisi saling membelakangi. Sampai-sampai ada seorang ikhwan yang terus menerus bicara, padahal lawan bicaranya sudah pergi entah kemana.
Dan kini, mungkin karena group value juga sehingga ada tren akhwat pulang malam. Awalnya karena kepentingan mendesak, tapi lama-lama muncul pameo: akhwat yang tidak pulang malam, jam terbangnya diragukan?! sungguh menyedihkan ketika ada seorang akhwat berujar, “Dulu di SMA saya jarang sekali bergurai dengan ikhwan, tapi setelah di kampus bertemu banyak ikhwan yang sering mengajak bergurau, saya jadi terbiasa….” Lho?!
Harus kita ingat bahwa tarbiyah bukan proses labelisasi. Tarbiyah tak bertujuan membuat kita menjadi produk-produk homogen yang monoton, jumudm ataupun imma’ah (ikut-ikutan). Melainkan diharapkan menjadi orang yang memiliki standar yang jelas dalam setiap sikap.
Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177, Allah mencela orang-orang musyrik yang menyandarkan nilai-nilai kebajikan (Al-Birr) pada persangkaan jahiliyah mereka. Sedangkan pada surat al Israa’ ayat 36, Allah SWT mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu jika tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Bicara tentang pergaulan aktfis islam, jelas aktifis muslimah memainkan peran penting di dlamanya. Melongok kiprah shahabiyah dalam berinteraksi dengan masyarakat, meraka bukan sosok steril yang tidak melakukan interaksi dengan kaum laki-laki.
Di antara mereka ada yang menyampaikan tuntutannya dengan Rasulullah, menjenguk muslim yang sakit, turut serta dalam perjamuan dan berbagai pertemuan, ikut berdinamika dalam berbagai peperangan, menyampaikan kritik secara langsung dan terbuka kepada khilafah, bahkan istri-istri Rasulullah menjadi tempat bertanya para shahabat setelah Rasulullah saw wafat.
Namun satu hal yang harus dicatat, bahwa para shohabiyah dan generasi muslimah terdahulu melakoni segala hak kebabasan mereka dengan pemahaman, penuh kehati-hatian, dan kontrol diri yang kuat.
Misalnya saja pada kisah dua orang puteri Nabi Syu’aib as. Mereka tidak menutup mata dari tugas memberi minum ternak, dalam rangka berbakti kpd orang tua. Mereka juga sadar, bahwa tugas itu harus mereka jalani dengan resko harus berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram. Maka dn sabar mereka hadapi resiko itu dengan strategi menunggu giliran memberi minum sehingga mereka tak perlu bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dikisahkan seorang muslimah datang dan menyerahkan dirinya (agar dinikahi) kepada Rasulullah saw. Ia paham bahwa ia memiliki kebebasan menawarkan dirinya kepada muslim yang sholih.
Namun ketika ia melihat Rasulullah saw tidak memutuskan apa-apa mengenai dirinya, ia pun duduk dan bahkan membiarkan Rasulullah saw menikahkannya dengan laki-laki lain. Nyata sekalim bahwa ia menyerahkan diri kepada Rasulullah saw semata-mata dalam rangka baktinya kepada beliau, bukan karena hawa nafsu. Betapa indah cara mereka membingkai dirinya dengan pemahaman.
Ketika seorang muslimah memahami kebebasannya, pada saat yang sama ia juga harus memahami keterbatasannya. Ia haru memahami bahwa dirinya mempunyai potensi fitnah yang besar. Kalau saja potensi itu sesuatu yang bisa diabaikan, tentunya Rasulullah tidak sampai bersabda, “Aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah bagi kaum lelaki lebih berbahaya daripada perempuan” (Muttafaqun alaihi)
Seorang muslimah, terutama dalamusia belia, harus memahami bahwa pertemuannya dengan seorang laki-laki memiliki kemungkinan dimanipulasi oleh setan yang terkutuk. Dalam satu riwaya Ath-Thabrani dan Ali dikatakan Rasulullah saw bersabda “Aku melihat seorang anak laki-laki dna seorang anak perempuan yang sama sama masih muda belia. Aku khawatir keduanya akan dimasuki oleh setan”
Terkadang aktifis muslimah begitu cepat tsiqoh dan merasa save ketika berinteraksi dalam ruang lingkup organisasi Islam. Ia berpikir “Toh senior dan teman-teman saya adalah orang yang paham” Akibatnya ia tidak membangun imunitas yang cukup kokoh untuk melindunginya dari kemungkinan berzina. Padahal, setiap manusia memiliki kecenderungan berzina.
Dari Ibnu Abbas dikatakan: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan perbuatan dosa kecil dibandingkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah mengenai Nabi saw, yaitu Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menentuka manusia cenderung berzina. Hal itu sama sekali tidak bisa dihindari dan pasti terjadi. Zina mata adalah memandang, zina lidah bertutur, zina nafsu adalah berharap-harap dan berkeinginan mendapatkan sesuatu, sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan hal tersebut.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitab Tahrirul Mar’ah fii ‘Ashrir Risalah mengemukakan bahwa Islam telah mengatur peran wanita dalam kehidupan sosial dengan etika yang sangat sempurna. Etika tersebut memiliki karakter sebagai berikut:
Pertama, etika tersebut tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
Kedua, etika tersebut menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemungkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.
Ketiga, etika tersebut menjamin kesehatan mental laki-laki dan wanita secara merata karena tidak membuka peluang sikap berlebih-lebihan, melanggar norma asusila atau memancing syahwat.
Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menimbulkan seorang wanita menutup diri dari seorang laki-laki.
Sebaik-baik urusan adelah pertengahan. Ali ra mengatakan, “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.”
Wallahu a’lam bis shawab

(dikutip dari majalah Al Izzah No.15/Th.2, 31 Maret 2001)

Kisah Ka’ab bin Malik Dalam Perang Tabuk

« Runtuhnya Semangat Berjuang
Menjadi Muslim Produktif »
Kisah Ka’ab bin Malik Dalam Perang Tabuk

13 Juli 2007 oleh Embun Tarbiyah

Kisah ini bukan kisah pertama yang ditulis di buku Teladan Tarbiyah yang saya ulas di artikel sebelumnya. Dalam buku itu kisah ini masuk dalam bagian At-Tajarrud. Mungkin di antara kita sudah sering mendengar kisah tentangnya. Biasanya kisahnya dihubungkan dengan kefuturan. Dulu saya pertama membaca kisahnya dalam buku “Yang Berguguran di Jalan Dakwah” karya Fathiyakan. Semoga bisa bermanfaat.

Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah satu di antar mereka. Salah satu di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya.

“Aku sama sekali tidak pernah absent mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula.

Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku bisa melakukannya kalau aku mau!”
Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul pikiranku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.

Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijinAllah Ta’ala untuk uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.

Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika beiau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”Rasulullahsaw. hanya terdiam saja.

Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw., bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw. dan mengatakan dengan tidak sebenarnya.

Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. /Demikian pula usai dari Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang. Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian berkata, “Kemarilah!”

Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil disbanding tatkala aku mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”

Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”

Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”

Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.

Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majilis Rasullah saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu paga Abu Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”

Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinag. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”

Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kamu akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampong halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan pesannya, “Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”

Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”

Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”

Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama. Aku langsung memerintahkan kepada istriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”

Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”

Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang shalat subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50 ketika aku sedang dudung berdzkir minta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”

Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)


Gimana setelah membaca kisah di atas?

Sekarang kita hubungkan dengan kehidupan saat ini. Kalau Ka’ab bin Malik absen dari perang, kalau kita saat ini kita hubungkan dengan amanah-amanah kita. Bagaimana sikap kita ketika mendapat seruan untuk dakwah? Bagaimana sikap kita ketika mendapatkan amanah? Apakah kita memiliki ruhul istijabah dan bersigera untuk melaksanakannya? Apakah justru sebaliknya kita merasa enggan, malas dan akhirnya tidak berangkat seperti kisahnya Ka’ab bin Malik itu?
Kondisi yang dialami Ka’ab bin Malik saat itu adalah contoh kondisi ketika mengalami futur, ketika kondisi keimanannya lemah. Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang mengudzurkan dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi beliau jujur kepada Rasulullah menyadari kesalahannya dan bertaubat. Beliau segera bangkit dari kondisi futurnya dan ikhlas menerima hukuman apapun. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan mengudzurkan diri kita dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya karena kemalasan kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk membuat-buat alasan. Apakah kita sering gak datang syuro tanpa alasan yang syar’i karena kita males atau mendahulukan yang lain yang tidak penting. Atau mungkin datang tapi sengaja telat karena menunda-nunda keberangkatannya tanpa ada udzur apapun. Padahal dalam sebuah ayat Al Qur’an, kita disuruh untuk berangkat jihad dalam keadaan merasa berat maupun ringan.
Coba kita simak surat At-Taubah:41-49

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.”

Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.
Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS.At-Taubah:41-49)

Dan bagaimana pula sikap kita jika kita ditegur terhadap kekhilafan kita? Apakah kita akan ikhlas menerimanya dan berusaha memperbaikinya serta bersikap tajarud seperti halnya Ka’ab ataukah kita justru mutung, merasa kecewa dan akhirnya keluar dari jalan ini.

Tetapi jika ada saudara kita yang melakukan kekhilafan atau futur seperti Ka’ab dan dua orang sahabatnya itu jangan kita memperlakukan saudara kita seperti mereka, mengasingkan sampai 50 hari gitu, ntar dan semakin terperosok dalam kefuturan dan akhirnyaJmalah mutung berguguran di jalan dakwah. Masalah ini coba baca artikel sebelumnya (Runtuhnya Semangat Berjuang).
Wallahu a’alam bishowab

Kamis, 03 Maret 2011

Kiat Agar Tetap Istiqomah

Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah orang yang menuntun kami untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu gigih menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi petunjuk oleh Allah.


Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal lebih mendalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah

Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.

Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:

1. Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
2. Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
3. Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]

Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.

Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput[3] “Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. [4]

Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]

Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».

“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]

Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah

Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]

Kiat Agar Tetap Istiqomah

Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.

Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .

“Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.“[9]

Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]

Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.

Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.

Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.

Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11] menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)

Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)

Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. [12] Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]

Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.

Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah

Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[16]

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[18]

Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.

Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.

Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)

Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)

“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).”[19] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang Nabi.

Begitu pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy Syu’aro: 61-62). Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan pertolongan Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh.

Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.

Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ

“Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati karena melihat mereka.“[20] Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah kisah-kisah para artis, yang menjadi public figure. Walaupun mereka hidup, bukan malah membuat hati semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka mati membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta. Wallahul muwaffiq.

Imam Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ

“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[21]

Begitu pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.“[22]

Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.

Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.

Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)

Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)

Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا

“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]

Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.

Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)

Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [26]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[27]

Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ

“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28] Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.

‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”

Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]

Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.

Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.

Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.

***

Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.
[5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 245.
[6] HR. Muslim no. 38.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246.
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/502.
[11] Malaikat Jibril disebut ruhul qudus oleh Allah agar beliau tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat, dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H). Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq.
[12] Lihat Wasa-il Ats Tsabat, Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/184.
[15] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.
[16] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[17] Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah
[18] HR. Bukhari no. 1152.
[19] HR. Bukhari no. 4564.
[20] Shifatush Shofwah, Ibnul Jauziy, 2/333, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1399 H.
[21] Al Madkhol, 1/164, Mawqi’ Al Islam
[22] Shifatush Shofwah, 1/438.
[23] Idem.
[24] HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[25] HR. Ahmad (3/257). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai syarat Muslim.
[26] HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa.
[27] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[28] Siyar A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[29] Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[30] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy

Meniti Jalan Istiqomah

Kaum muslimin rahimakumullah, di dalam kehidupan manusia, Allah telah menetapkan jalan yang harus ditempuh oleh manusia melalui syariat-Nya sehingga seseorang senantiasa Istiqomah dan tegak di atas syariat-Nya, selalu menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya serta tidak berpaling ke kanan dan ke kiri. Allah ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa istiqomah.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Robb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia)” (QS. Al Ahqaaf [46]: 13-14)

Akan tetapi bagaimana pun juga seorang hamba tidak mungkin untuk senantiasa terus dan sempurna dalam istiqomahnya. Terkadang seorang hamba luput dan lalai yang menyebabkan nilai istiqomah seorang hamba menjadi berkurang. Oleh karena itu, Allah memberikan jalan keluar untuk memperbaiki kekurangan tersebut yaitu dengan beristigfar dan memohon ampun kepada Allah ta’ala dari dosa dan kesalahan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya”. (QS. Fushshilat [41]: 6). Di dalam al-Qur’an maupun Sunnah telah ditegaskan cara-cara yang dapat ditempuh oleh seorang hamba untuk bisa meraih istiqomah. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (QS. Ibrahim [14] : 27). Makna “ucapan yang teguh” adalah dua kalimat syahadat. Sehingga, Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat.

Kedua, membaca al-Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya. Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur‘an itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. An Nahl [16]:102)

Ketiga, berkumpul dan bergaul di lingkungan orang-orang saleh. Hal ini sangat membantu seseorang untuk senantiasa istiqomah di jalan Allah ta’ala. Teman-teman yang saleh akan senantiasa mengingatkan kita untuk berbuat baik serta mengingatkan kita dari kekeliruan. Bahkan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hal yang sangat membantu meneguhkan keimanan para sahabat adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman yang artinya, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rosul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran [3]:101)

Keempat, berdoa kepada Allah ta’ala agar Dia senantiasa memberikan kepada kita istiqomah hingga akhir hayat. Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa, “Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik ” artinya “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz Dzahabi, lihat pula Shahihul Jami’)

Kelima, membaca kisah Rasulullah, para sahabat dan para ulama terdahulu untuk mengambil teladan dari mereka. Dengan membaca kisah-kisah mereka, bagaimana perjuangan mereka dalam menegakkan diinul Islam, maka kita dapat mengambil pelajaran dari kisah tersebut sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud [11]: 120)

Kaum muslimin rahimakumullah demikianlah sedikit yang dapat kami sampaikan sebagai renungan bagi kita semua untuk meniti jalan istiqomah. Semoga Allah ta’ala memberikan keteguhan kepada kita untuk senantiasa menjalankan syariat-Nya hingga kelak kematian menjemput kita semua. Amiin ya Mujibbassaailiin.

[Diringkas dari penjelasan Hadits Arba'in No. 21 yang ditulis oleh Ustadz Abdullah Taslim, Lc.]

***

Penulis: Amrullah Akadhinta
Artikel www.muslim.or.id